Bisnis kafe terus bertumbuh setiap tahunnya di kisaran 15-20%. Jumlah ini membuktikan jika pasar industri ini masih cukup besar, sehingga mendorong banyak pelaku usaha untuk terjun ke bidang bisnis yang masuk dalam kategori food and beverage ini. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam bisnis ini adalah keterlibatan owner secara langsung.
Seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat khususnya di kota-kota besar yang umumnya banyak menghabiskan waktu di luar rumah, membuat bisnis kafe dan resto semakin menjamur. Secara bisnis, bidang kafe dan resto menjadi salah satu bidang yang paling banyak diminati oleh banyak pengusaha di Tanah Air. Salah satu yang mendorong sehingga banyak orang berbondong-bondong melakoni bisnis ini adalah karena peluangnya yang tak pernah sepi.
Stevan Lie, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) menyebut jika bisnis di bidang ini menjadi sesuatu yang masih menarik bagi banyak orang karena ketahanannya dari krisis dan menjadi kebutuhan primer masyarakat. Tak aneh jika secara bisnis memang industri kafe dan resto terus bertumbuh setiap tahunnya. Para pelakunya pun terus bertambah, dari yang mulai coba-coba sampai mereka yang memang memiliki ketertarikan dan kompetensi di bidang tersebut.
Menurut Stevan, pertumbuhan bidang kafe dan resto setiap tahunnya naik sekitar 15-20%. Sementara itu, dari sisi jumlah pelaku usaha di bidang ini diperkirakan lebih dari 10.000 kafé di seluruh Tanah Air. Dari sisi pendapatan pun diprediksikan terus meningkat dari semula USD 3,4 miliar menjadi USD 4,16 miliar.
Di Jakarta, berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, setidaknya ada lebih dari 500 bar dan cafe yang beroperasi. Kondisi ini pun diprediksi akan terus tumbuh hingga 30%. Hal ini sesuai dengan pengembangan industri kopi nasional yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Saat ini industri kopi Indonesia sudah mampu menyerap sekitar 40% produksi dalam negeri dan tumbuh 15% per tahun, baik itu kopi instant, olahan, premium maupun kopi spesialti. Kementerian Perindustrian pada 2015 juga mencatat pertumbuhan konsumsi produk kopi olahan di dalam negeri yang meningkat rata-rata lebih dari 7 persen per tahun.
Dikatakan Stevan, selain secara bisnis terus bertumbuh, namun para pelaku di industri ini yang bertumbangan juga banyak. Stevan menduga hal ini lebih dikarenakan banyak pelaku yang menganggap jika bisnis ini mudah dilakukan.
“Banyak orang yang hanya ingin punya bisnis kafe dan resto, bukan mau menjalani bisnis kafe dan resto. Bisnis ini membutuhkan orang-orang yang mau menjalaninya, yang benar-benar punya passion di bidang ini. Kalau tidak punya passion, itu akan sulit dilakukan. Daya tahannya pasti rendah. Oleh sebabnya, banyak pemilik usaha yang hanya bertahan 6 bulan sampai satu tahun kemudian mereka tutup,” sebutnya
Bisnis ini tidak cukup hanya mengandalkan beberapa orang kepercayaan dan chef berkualitas untuk menjalankan roda usahanya. Namun yang lebih penting adalah keterlibatan owner secara langsung.
“Ya, bisnis ini tidak bisa dilepaskan. Pemilik harus turun tangan secara langsung. Kalau hanya dikontrol saja, dan untuk operasional dipercayakan sama manajer, itu tidak bisa. Pasti tidak akan bisa survive. Lebih baik uangnya disimpan di bank atau yang lebih mudah, belilah franchise,” kata pria berusia 44 tahun ini.
Namun, meski potensi pasarnya masih cukup bagus, tapi bisnis makanan dan minuman di Tanah Air, masih tidak sebaik yang terjadi di Singapura dan Hong Kong. Sebab, di kedua Negara tersebut, masyarakatnya selalu makan di luar rumah. Hal ini berbeda dengan kebiasaan masyarakat Indonesia, yang umumnya masih memasak di rumah.
“Di luar sana, pemilik resto sehari bisa 5-8 kali putaran konsumen. Artinya, jika ada 100 seat, maka dalam sehari bisa 5-8 kali ganti atau 500-800 seat. Nah, di Indonesia paling bagus 2 sampai 3 kali putaran. Apalagi coffee shop, orang hanya minum kopi tapi nongkrongnya bisa berjam-jam,” ujar dia.
Stevan optimis, jika ke depan banyak juga kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta yang gaya hidup masyarakatnya mengarah seperti di Singapura dan Hong Kong. Apalagi mereka yang tinggal di apartemen, umumnya mereka sudah tidak memasak lagi di rumah. “Jika gaya hidup masyarakat sudah demikian, maka peluangnya akan semakin besar lagi,” ungkapnya.
Untuk memasuki bisnis ini membutuhkan modal yang tidak sedikit juga, apalagi jika orientasinya ingin memasuki pasar mall. Selain investasi untuk sewa tempat, investasi terbesar lainnya adalah peralatan usaha.
“Kalau buka di mall, sepertinya angka Rp 1 M pun sudah sulit karena untuk interior dan peralatan saja investasinya cukup besar. SDM juga besar karena UMR selalu naik. Bisnis ini padat modal dan padat karya. Saya kira, untuk ukuran sekarang pengusaha kafe & resto yang memiliki net proit 15% saja sudah sangat bagus. Harus diketahui, komponen pengeluaran bisnis ini banyak. Perhitungan mudahnya saya asumsikan begini; food cost 40%, sewa tempat 20%, kebutuhan (gas, listrik, air) 10%, gaji SDM 15%, sisa tinggal 15%. Itu pun belum dipotong yang lain seperti credit card, barang rusak, dan lainnya.”
Diakuinya, kehadiran online juga bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai sarana untuk berpromosi oleh para pengusaha yang bergerak di industri ini. Salah satu bentuk promosi online yang bisa dilakukan antara lain melalui media sosial atau dengan mendekat pada food blogger.
“Sosial media ini sangat powerfull sebagai sarana pengembangan agar penjualan semakin meningkat. Namun, ini bukan berarti bisnis ini harus di-online-kan. Konsumen di bidang ini masih membutuhkan suasana, jika interior kafe/ resto bagus, maka orang akan tetap datang ke tempat. Ini berbeda dengan bisnis ritel lain yang umumnya konsumen mulai beralih total ke online,” tukasnya lagi.
Nah, karena hal tersebut para pengusaha di sektor ini dituntut untuk terus melakukan inovasi dan pelayanan yang lebih baik. Termasuk dalam kaitannya dengan membuka cabang baru untuk menjangkau konsumen lebih jauh, jika sistem bisnisnya sudah siap.
Namun untuk membuka cabang baru, bukanlah perkara yang mudah. Stevan yang sudah sejak tahun 1997 sebagai pelaku dan konsultan menjelaskan, “Cabang itu harus disesuaikan dengan kesiapan pemiliknya. Karena bisnis ini tidak bisa ditinggalkan, maka harus dipikirkan pula cara meng-handle-nya. Kalau sistemnya belum terbangun, buka cabang malah akan menjadi bumerang yang bisa menghancurkan merek sendiri. Semua harus disiapkan dengan baik sesuai tahapannya.”
Sebagai praktisi, Stevan memberikan beberapa kiat agar bisnis kafe yang dijalankan bisa berjalan dengan baik.
- Pertama, pikirkan dulu apakah hanya mau punya kafe/resto atau mau menjalani bisnis ini. Bisnis ini memerlukan orang yang mau menjalaninya, bukan sekadar memilikinya saja.
- Kedua, jangan serahkan operasionalnya pada orang lain, tapi Anda harus terjun secara langsung.
- Ketiga, konsep bisnis juga penting, jangan hanya sekadar follower.
- Keempat, memiliki passion di bidang ini. “Kita harus benar-benar suka menjalaninya. Bisnis itu jangan dilihat suka dan mudahnya saja, karena dukanya juga pasti banyak,” ucapnya.
Lalu, kekuatan brand juga menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, buatlah brand yang kuat agar kafe/resto yang dibangun terus didatangi konsumen. Demikian pula dengan network yang memiliki peran tersendiri.
Terkait persaingan bisnis di industri ini juga terbilang ketat. Selain dengan kafe/resto lokal, banyak juga pemain di bidang ini yang berasal dari luar negeri. Persaingan ini sejatinya harus membuat para pelaku usaha ini semakin pintar.
Apkrindo sebagai sebuah wadah bagi para pelaku di bidang kafe dan resto terus memberikan informasi dan arahan bagi para anggotanya yang saat ini berjumlah 400-500 merek.
“Apkrindo berdiri sejak tahun 2008 lalu dan kami lebih banyak berkembang di Surabaya. Organisasi ini sebagai penyambung informasi dari kebijakan pemerintah yang dibuat. Kami berharap agar ke depan para pelaku bisnis di bidang ini bisa semakin kuat,” demikian Stevan
Sumber: Majalah ElShinta Januari 2017 | Tahun IX